Journal, Review, and Inspiration

Journal, Review, and Inspiration

Monday, August 29, 2016

BAZAAR ART JAKARTA 2016 ( I'VE BEEN REFRESHED !!!)

Bazaar Art Jakarta 2016, oleh Harpers Bazaar, merupakan event seni pertama dan terbesar di Indonesia . Sebenarnya sudah dilaksanakan setiap tahun sejak tahun 2009, cuma saja saya baru tahun ini bisa datang ke Bazaar Art Jakarta yang di gelar di Ballroom Pasific Place Ritz Carlton, Jakarta.


                                                              (Eko Nugroho; 2016)
Sejak pertama saya menginjakan kaki di Pasific Place, saya langsung disuguhi karya seni raksasa milik Eko Nugroho, lukisan-lukisan tersebut di pajang dalam bentuk lampion, terinstalasi tepat di tengah-tengah mall tersebut. Eko Nugroho sebenarnya merupakan seniman asal Yogyakarta yang sudah sejak lama berkarya, hanya saja awam seperti saya dan sebagian besar orang diluar sana mungkin mengenal karyanya lewat film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang laris manis itu . Bagi saya karya seni milik Eko Nugroho sendiri merupakan karya yang kaya pesan, menyerap fenomena politik dan budaya disekitarnya lalu kemudian menuangkannya dalam karya seni instalasi yang penuh warna, memikat, dan membuat saya  ingin mengenal lebih jauh lagi karya-karyanya yang lain. 

Memasuki venue utama kita akan disuguhi gamelan jawa yang dapat bermain sendiri, kalau saya boleh berkomentar, serupa robot gamelan. Kemudian di samping gamelan 'mistis' tersebut terdapat sebuah booth, tempat melakukan registrasi, setelah melakukan registrasi kita akan mendapatkan sebuah katalog tebal, dan eksklusif berisikan informasi mengenai karya seni yang ditampilkan di sana. Tahun ini, Bazaar Art Jakarta diikuti oleh 42 galeri seni dari berbagai negara di dunia, termasuk salah satunya lukisan dari galeri Sotheby’s, Hongkong. 

(Affandi; Sun, Feet and Hands; 1979)

Salah satu yang menarik perhatian saya dan banyak orang tentunya adalah lukisan karya Affandi yang kini berada di  galeri Sotheby's Hongkong, dimana dalam Bazaar Art kali ini turut dipamerkan. Karyanya berjudul 'Sun, Feet, and Hands' (1979). Dalam menikmati sebuah karya setiap orang pasti punya terjemahannya sendiri-sendiri. 

Bagi saya ketika  berlama-lama berdiri di depan lukisan ini, saya merasa Affandi berpesan pada penikmat karyanya, bahwa Akal merupakan pusat kehidupan kita sebagai manusia, tangan dan kaki merupakan alat untuk mentransformasikan apa yang ada dalam alam pikiran ke alam realita. Akal adalah pusat tata surya-nya manusia. keutamaannya disimbolkan dalam warna kuning emas sedangkan pendaran warna jingga besar dibelakangnya mengibaratkan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan kita. kemudian sepasang kaki dan tangan berwarna hitam sebagai 'jalan-nya' untuk sampai ke dunia nyata kemudian bertapak pada realitas yang disimbolkan dengan guratan-guratan hitam di bawah kaki yang mecakar-cakar. Sepintas mungkin seperti cakar ayam, tapi ternyata sungguh dalam maknanya.

 (Dani "king" Heriyanto)
Selain Lukisan legendaris karya Affandi, saya juga melihat beberapa lukisan yang menarik. Tidak menarik bagi saya bukan berarti tidak bagus, maafkan ilmu dan rasa seni saya yang mungkin masih terlalu cetek ini, tetapi ada beberapa lukisan yang secara pribadi saya suka, dan bikin saya penasaran. Sebenarnya, pesan apa yang hendak disampaikan oleh si empunya lukisan. salah satunya milik Dani "king" Heriyanto yang berjudul 'Keindahan, Keseimbangan dan Kesempurnaan' milik Art Front Gallery, Singapore. 

Jika dilihat dari warna, lukisan ini di dominasi oleh warna Favorit saya, warna-warna netral seperti abu-abu, hitam dan putih. Warna abu-abu, hitam dan putih pun merupakan komposisi yang pas untuk sebuah gambaran Keindahan, Keseimbangan, dan Kesempurnaan. 

Pada lukisan tersebut digambarkan seorang perempuan berambut pendek yang terlihat lesu memandangi batu-batu yang ditumpuk diatas tangannya, semakin dilihat kenapa pula saya merasa kasihan, demi mendapatkan sebuah gambaran keindahan, wanita tersebut mungkin harus meletakan tumpukan batu itu diatas tangannya kemudian harus menjaga keseimbangan tersebut. Apa memang begitulah syarat sebuah kesempurnaan, haruslah terlihat indah dan seimbang. Lalu kenapa pula terlihat lesu? Ah, entahlah. Mari kita tengok karya-karya yang lain.

Sebenarnya kedatangan saya ke Bazaar Art Jakarta ini salah satunya demi melihat karya salah satu photografer favorit saya, Anton Ismail. Satu diantaranya adalah lukisan poto yang berjudul 'Keluar, Tumbuh, Liar'. Mungkin kalau melihat karyanya untuk pertama kali kesannya, sembarangan banget sih, poto, gunting tempelin poto lagi, tempel, selesai. Dulu, saya juga mikirnya begitu. Makin sering dan bervariasi karyanya yang saya lihat ternyata memang "sembarangannya" ini yang tetap konsisten. dan medianya bisa apa saja, lukisan, poto, bahkan pada dua gundukan beras yang ikut dipamerkan dalam Bazaar Art ini. 

Buat saya karyanya itu selalu 'rough' dan 'meaningful'. Dalam setiap karyanya, pesan itu akan muncul dengan jelas. Kalau kepribadian bisa di lihat dari sebuah karya, maka mungkin beliau ini pribadi yang straight to the point. Seperti yang terlihat dalam  'Keluar, Tumbuh, Liar' ini. Buat saya karyanya kali kental dengan nuansa perempuan, feminism, atau mungkin mungkin beliau menyebutnya 'titiesm'  karena dalam empat foto lainnya memang banyak ditemukan objek tersebut. haha i truly dont know how to name it, but sure i sense it. Secara kasat mata kita bisa melihat ada bayang-banyang orang suci yang menutupi bagian-bagian vital perempuan tersebut dengan bunga-bunga atau mungkin tujuan bunga itu bukan menutupi, malah merupakan simbol tumbuh liar itu sendiri dan bahagilah karena yang bertumbuh itu anugrah yang maha suci. Once again, its up to you, yang menikmati karya ini.

Memang mungkin begitulah kaya seni, tidak untuk dipahami semua orang, atau emang memahami karya seni itu bukan sesuatu yang harus diartikan dengan mutlak. Setiap individu penikmatnya punya pandangannya sendiri, punya rasa yang berbeda. Bagi seniman karya seni merupakan media untuk menyampaikan sebuah pesan, mereka bercerita lewat cahaya, bercerita lewat warna, lewat suara, bahkan lewat benda-benda, bebas sesuka hati mereka.  Bagi penikmat seni, hakikat kita adalah menikmati karya-karya mereka dengan bebas dari sudut mana pun yang ingin kita lihat. 

Terima Kasih Harper's Bazaar for Refresh my borring soul. Sungguh dahaga memang terasa manis setelah minum seteguk air.

(bersama Anton Ismail; Black Squad!)

Beberapa Kaya-karya menarik yang ditampilkan dalam Bazaar Art Jakarta 2016 
(Baby Ballet; Yi Hwan Kwon)


(Till Death Do Us Part; Djoko Hartanto)


(By Misako Taekagi ; made from clay, wooden, rock)












Friday, August 26, 2016

NONTON TEATER BUNGA PENUTUP ABAD

Bunga penutup abad merupakan karya adaptasi dari buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya buku-buku ini merupakan tetralogy, setelah Anak Semua Bangsa ada juga Jejak Langkah dan Rumah Kaca, namun teater Bunga Penutup Abad ini hanya mengisahkan dua buku awal. Tokoh Nyai Ontosoroh diperankan Oleh Happy Salma, Minke Oleh Reza Rahardian, Annelies oleh Chelsea Islan, dan Jean Marais oleh Lukman Sardi.

Ketika saya tau bahwa Reza Rahardian yang memainkan Tokoh Minke ini, dalam hati saya bertanya, tidakkah Reza Terlalu “Indo” untuk memainkan peran seorang pribumi? Karena terus terang setiap pembaca Pramoedya pasti punya bayangan sendiri bagaimana sosok Minke, dan saya membayangkan seorang pria manis rupawan dengan kulit sawo mateng berusia 18 tahun. Does Reza fit in, I don’t know. Kemudian  ada Sosok Annelies yang diperankan Chelsea Islan, sangat pas untuk penggambaran seorang Indo yang begitu cantik hanya saja, sebagai penonton awam, tentu saya bertanya-tanya bagaimana aktingnya ketika bermain teater, mengingat Chelsea yang saya kenal dari media adalah seorang bintang film yang memulai karirnya bukan dari pemain teater. Untuk seorang Happy Salma, saya tidak meragukan apapun, saya memang ingin melihat dia bermain sebagai Nyai Ontosoroh yang tersehor itu mengingat Happy Salma bukan pemain baru di dunia teater.
Ketika tirai dibuka, sekejap itu juga penonton hening, semua mata tertuju pada Reza Rahardian sebagai Minke yang sedang membaca surat dari Panji Darman tentang keadaan Annelies nun jauh di negeri Belanda, entah saya berlebihan atau tidak, detik-detik awal ketika tirai terbuka dan lampu panggung mulai menyala saya melihat dada yang di balut jas hitamnya turun naik begitu ketara pertanda jantungnya berdegup kencang (well I sit in the front row, so I think I can see clearly). Kemudian Lantang suara dan khas aksen jawanya terdengar, ditemani Happy Salma yang duduk anggun dengan mimik muka tegang, lalu menjelmalah keduanya sebagai Minke dan Nyai Ontosoroh, monolog demi monolog, dialog demi dialog.
Sungguh bukan kerja gampang memainkan teater dengan monolog yang panjang-panjang, tapi secara keseluruhan semua bermain bagus, bermain teater membutuhkan artikulasi jelas, mimik muka dan gesture tubuh dramatis, dan tentu saja penghayatan. Tidak sama dengan film dimana mimik muka bisa terlihat jelas dengan zoom in kamera, bisa dilakukan take berulang-ulang, disitulah kenikmatan menonton teater. Energi si pemain, penghayatan, dan spontanitas menjadi magnet tersendiri bagi para penonton dan Reza, you did it well, saya sampai lupa bahwa sebelum menonton saya sempat ragu apakah Reza cocok dengan karakter Minke ini.
Saya paling penasaran dengan penampilan Chelsea Islan, jujur, saya suka. Memang cocok Chelsea memerankan Annelies yang cantik jelita, manja, dan dimabuk cinta. Ternyata Chelsea punya artikulasi suara yang jelas dan merdu, you nailed it Chelsea.
Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh, dari yang bisa saya rasakan, saya kira Happy salma memiliki kecintaan pada sastra karya Pramoedya ini mungkin jauh sebelum proyek teater ini. Begitu menyatu, Nyai Ontosoroh, seorang pribumi, cantik dengan kulit sawo matang, berusia tiga puluhan, sungguh pas. Terasa sekali dominsinya sebagai seorang Nyai Ontosoroh yang “berkarisma” saat adegan demi adegan dengan Reza dimainkan. Minke yang labil tapi cerdas, Minke yang masih sangat muda, Minke yang Jatuh cinta. Oh iya  Lukman Sardi. rasanya tak perlulah saya berkomentar untuk seorang pemain watak sekelas Lukman Sardi. Beliau memerankan Jean Marais, seorang pelukis prancis yang pincang, mungkin adegannya tak sebanyak Happy Salma, atau Reza Rahardian, namun karakter Jean ini sungguh penting sebagai penjembatan satu cerita dengan cerita lainnya, satu adegan dengan adegan lainnya.
Wawan Sofyan sebagai sutradara dan penulis sekenario merupakan pengapresiasi karya Pramoedya sejak dulu, terbukti dengan karya-karyanya sebelum ini seperti ‘Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh’. Beliau membuat Plotnya yang maju-mundur, namun tetap enak di tonton tidak membingungkan, lebih dari itu Wawan Sofyan mampu menjembatani menciptakan alur yang kompleks monolog-monolog yang menarik namun tetap dengan khas Pramoedya yang tak hilang dari setiap adegan. Satu hal lagi yang membuatnya istimewa, pementasan teater ini menggunakan live orchestra yang merdu, jernih dan rapih.

Pada akhirnya penyuka Pramoedya atau bukan, pencinta teater atau bukan, tidaklah rugi menonton pertunjukan teater ini, rasa-rasa sebagai penyejuk batin yang sudah kering. 

25 Agustus 2016 (Perempuan Akhir Abad)