Journal, Review, and Inspiration

Journal, Review, and Inspiration

Friday, August 26, 2016

NONTON TEATER BUNGA PENUTUP ABAD

Bunga penutup abad merupakan karya adaptasi dari buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Sebenarnya buku-buku ini merupakan tetralogy, setelah Anak Semua Bangsa ada juga Jejak Langkah dan Rumah Kaca, namun teater Bunga Penutup Abad ini hanya mengisahkan dua buku awal. Tokoh Nyai Ontosoroh diperankan Oleh Happy Salma, Minke Oleh Reza Rahardian, Annelies oleh Chelsea Islan, dan Jean Marais oleh Lukman Sardi.

Ketika saya tau bahwa Reza Rahardian yang memainkan Tokoh Minke ini, dalam hati saya bertanya, tidakkah Reza Terlalu “Indo” untuk memainkan peran seorang pribumi? Karena terus terang setiap pembaca Pramoedya pasti punya bayangan sendiri bagaimana sosok Minke, dan saya membayangkan seorang pria manis rupawan dengan kulit sawo mateng berusia 18 tahun. Does Reza fit in, I don’t know. Kemudian  ada Sosok Annelies yang diperankan Chelsea Islan, sangat pas untuk penggambaran seorang Indo yang begitu cantik hanya saja, sebagai penonton awam, tentu saya bertanya-tanya bagaimana aktingnya ketika bermain teater, mengingat Chelsea yang saya kenal dari media adalah seorang bintang film yang memulai karirnya bukan dari pemain teater. Untuk seorang Happy Salma, saya tidak meragukan apapun, saya memang ingin melihat dia bermain sebagai Nyai Ontosoroh yang tersehor itu mengingat Happy Salma bukan pemain baru di dunia teater.
Ketika tirai dibuka, sekejap itu juga penonton hening, semua mata tertuju pada Reza Rahardian sebagai Minke yang sedang membaca surat dari Panji Darman tentang keadaan Annelies nun jauh di negeri Belanda, entah saya berlebihan atau tidak, detik-detik awal ketika tirai terbuka dan lampu panggung mulai menyala saya melihat dada yang di balut jas hitamnya turun naik begitu ketara pertanda jantungnya berdegup kencang (well I sit in the front row, so I think I can see clearly). Kemudian Lantang suara dan khas aksen jawanya terdengar, ditemani Happy Salma yang duduk anggun dengan mimik muka tegang, lalu menjelmalah keduanya sebagai Minke dan Nyai Ontosoroh, monolog demi monolog, dialog demi dialog.
Sungguh bukan kerja gampang memainkan teater dengan monolog yang panjang-panjang, tapi secara keseluruhan semua bermain bagus, bermain teater membutuhkan artikulasi jelas, mimik muka dan gesture tubuh dramatis, dan tentu saja penghayatan. Tidak sama dengan film dimana mimik muka bisa terlihat jelas dengan zoom in kamera, bisa dilakukan take berulang-ulang, disitulah kenikmatan menonton teater. Energi si pemain, penghayatan, dan spontanitas menjadi magnet tersendiri bagi para penonton dan Reza, you did it well, saya sampai lupa bahwa sebelum menonton saya sempat ragu apakah Reza cocok dengan karakter Minke ini.
Saya paling penasaran dengan penampilan Chelsea Islan, jujur, saya suka. Memang cocok Chelsea memerankan Annelies yang cantik jelita, manja, dan dimabuk cinta. Ternyata Chelsea punya artikulasi suara yang jelas dan merdu, you nailed it Chelsea.
Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh, dari yang bisa saya rasakan, saya kira Happy salma memiliki kecintaan pada sastra karya Pramoedya ini mungkin jauh sebelum proyek teater ini. Begitu menyatu, Nyai Ontosoroh, seorang pribumi, cantik dengan kulit sawo matang, berusia tiga puluhan, sungguh pas. Terasa sekali dominsinya sebagai seorang Nyai Ontosoroh yang “berkarisma” saat adegan demi adegan dengan Reza dimainkan. Minke yang labil tapi cerdas, Minke yang masih sangat muda, Minke yang Jatuh cinta. Oh iya  Lukman Sardi. rasanya tak perlulah saya berkomentar untuk seorang pemain watak sekelas Lukman Sardi. Beliau memerankan Jean Marais, seorang pelukis prancis yang pincang, mungkin adegannya tak sebanyak Happy Salma, atau Reza Rahardian, namun karakter Jean ini sungguh penting sebagai penjembatan satu cerita dengan cerita lainnya, satu adegan dengan adegan lainnya.
Wawan Sofyan sebagai sutradara dan penulis sekenario merupakan pengapresiasi karya Pramoedya sejak dulu, terbukti dengan karya-karyanya sebelum ini seperti ‘Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh’. Beliau membuat Plotnya yang maju-mundur, namun tetap enak di tonton tidak membingungkan, lebih dari itu Wawan Sofyan mampu menjembatani menciptakan alur yang kompleks monolog-monolog yang menarik namun tetap dengan khas Pramoedya yang tak hilang dari setiap adegan. Satu hal lagi yang membuatnya istimewa, pementasan teater ini menggunakan live orchestra yang merdu, jernih dan rapih.

Pada akhirnya penyuka Pramoedya atau bukan, pencinta teater atau bukan, tidaklah rugi menonton pertunjukan teater ini, rasa-rasa sebagai penyejuk batin yang sudah kering. 

25 Agustus 2016 (Perempuan Akhir Abad)





















No comments:

Post a Comment