Bunga penutup abad merupakan karya
adaptasi dari buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta
Toer. Sebenarnya buku-buku ini merupakan tetralogy, setelah Anak Semua Bangsa
ada juga Jejak Langkah dan Rumah Kaca, namun teater Bunga Penutup Abad ini hanya
mengisahkan dua buku awal. Tokoh Nyai Ontosoroh diperankan Oleh Happy Salma,
Minke Oleh Reza Rahardian, Annelies oleh Chelsea Islan, dan Jean Marais oleh
Lukman Sardi.
Ketika saya tau bahwa Reza Rahardian yang memainkan Tokoh
Minke ini, dalam hati saya bertanya, tidakkah Reza Terlalu “Indo” untuk
memainkan peran seorang pribumi? Karena terus terang setiap pembaca Pramoedya
pasti punya bayangan sendiri bagaimana sosok Minke, dan saya membayangkan
seorang pria manis rupawan dengan kulit sawo mateng berusia 18 tahun. Does Reza
fit in, I don’t know. Kemudian ada Sosok
Annelies yang diperankan Chelsea Islan, sangat pas untuk penggambaran seorang
Indo yang begitu cantik hanya saja, sebagai penonton awam, tentu saya
bertanya-tanya bagaimana aktingnya ketika bermain teater, mengingat Chelsea yang
saya kenal dari media adalah seorang bintang film yang memulai karirnya bukan
dari pemain teater. Untuk seorang Happy Salma, saya tidak meragukan apapun,
saya memang ingin melihat dia bermain sebagai Nyai Ontosoroh yang tersehor itu
mengingat Happy Salma bukan pemain baru di dunia teater.
Ketika tirai dibuka, sekejap itu juga penonton hening, semua
mata tertuju pada Reza Rahardian sebagai Minke yang sedang membaca surat dari
Panji Darman tentang keadaan Annelies nun jauh di negeri Belanda, entah saya
berlebihan atau tidak, detik-detik awal ketika tirai terbuka dan lampu panggung
mulai menyala saya melihat dada yang di balut jas hitamnya turun naik begitu
ketara pertanda jantungnya berdegup kencang (well
I sit in the front row, so I think I can see clearly). Kemudian Lantang
suara dan khas aksen jawanya terdengar, ditemani Happy Salma yang duduk anggun
dengan mimik muka tegang, lalu menjelmalah keduanya sebagai Minke dan Nyai
Ontosoroh, monolog demi monolog, dialog demi dialog.
Sungguh bukan kerja gampang memainkan teater dengan monolog
yang panjang-panjang, tapi secara keseluruhan semua bermain bagus, bermain
teater membutuhkan artikulasi jelas, mimik muka dan gesture tubuh dramatis, dan tentu saja penghayatan. Tidak sama
dengan film dimana mimik muka bisa terlihat jelas dengan zoom in kamera, bisa dilakukan
take berulang-ulang, disitulah kenikmatan menonton teater. Energi si pemain,
penghayatan, dan spontanitas menjadi magnet tersendiri bagi para penonton dan
Reza, you did it well, saya sampai
lupa bahwa sebelum menonton saya sempat ragu apakah Reza cocok dengan karakter
Minke ini.
Saya paling penasaran dengan penampilan Chelsea Islan,
jujur, saya suka. Memang cocok Chelsea memerankan Annelies yang cantik jelita,
manja, dan dimabuk cinta. Ternyata Chelsea punya artikulasi suara yang jelas
dan merdu, you nailed it Chelsea.
Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh, dari yang bisa saya
rasakan, saya kira Happy salma memiliki kecintaan pada sastra karya Pramoedya
ini mungkin jauh sebelum proyek teater ini. Begitu menyatu, Nyai Ontosoroh,
seorang pribumi, cantik dengan kulit sawo matang, berusia tiga puluhan, sungguh
pas. Terasa sekali dominsinya sebagai seorang Nyai Ontosoroh yang “berkarisma”
saat adegan demi adegan dengan Reza dimainkan. Minke yang labil tapi cerdas,
Minke yang masih sangat muda, Minke yang Jatuh cinta. Oh iya Lukman Sardi. rasanya tak perlulah saya
berkomentar untuk seorang pemain watak sekelas Lukman Sardi. Beliau memerankan
Jean Marais, seorang pelukis prancis yang pincang, mungkin adegannya tak
sebanyak Happy Salma, atau Reza Rahardian, namun karakter Jean ini sungguh
penting sebagai penjembatan satu cerita dengan cerita lainnya, satu adegan
dengan adegan lainnya.
Wawan Sofyan sebagai sutradara dan penulis sekenario
merupakan pengapresiasi karya Pramoedya sejak dulu, terbukti dengan
karya-karyanya sebelum ini seperti ‘Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh’. Beliau
membuat Plotnya yang maju-mundur, namun tetap enak di tonton tidak
membingungkan, lebih dari itu Wawan Sofyan mampu menjembatani menciptakan alur
yang kompleks monolog-monolog yang menarik namun tetap dengan khas Pramoedya
yang tak hilang dari setiap adegan. Satu hal lagi yang membuatnya istimewa,
pementasan teater ini menggunakan live orchestra yang merdu, jernih dan rapih.
Pada akhirnya penyuka Pramoedya atau bukan, pencinta teater
atau bukan, tidaklah rugi menonton pertunjukan teater ini, rasa-rasa sebagai
penyejuk batin yang sudah kering.
25 Agustus 2016 (Perempuan Akhir Abad)
No comments:
Post a Comment