Journal, Review, and Inspiration

Journal, Review, and Inspiration

Tuesday, June 28, 2011

REUNI

Tulisan ini saya maksudkan untuk sekedar menjaga kesadaran saya
Sebuah perjalanan spiritualitas yang belum usai

Lalu kenapa saya sudah berani menuliskan kisah ini kalau saya belum tahu ujungnya
Saudaraku—sayangnya ketika kita mencapai ujung dari cerita kita masing-masing kita sudah tak mampu merangkai kata, jangankan terbata bercerita, menghela nafas pun tidak
Sampai meninggalkan dunia ini pun kita belum mencapai akhir ceritanya
Saudaraku—kalian percaya ada hidup sesudah hidup ini?
Saya percaya, suatu akhir adalah awal dari sesuatu yang baru
Dunia adalah tempat persinggahan, jembatan yang menyilaukan, dan ujian terberat
Sesungguhnya saya masih tertatih-tatih untuk menuliskan ini, saya TAKUT
Tulisan ini adalah goretan kecil dengan harapan terus mengingatkan saya bahwa hidup ini rapuh

Kurang lebih dua minggu yang lalu sahabat saya kehilangan seorang anggota keluarganya, tepat setelah lebaran usai—kerabatnya meninggalkan dunia ini dengan segala urusan duniawinya
Sahabat saya tersentak, tergunjang, berhenti sejenak untuk meyakinkan diri bahwa ini benar terjadi
Lalu saya tanya bagaimana rasanya?shock—karena kemarin ia masih berpijak di bumi, karena sahabat saya masih bisa menatap matanya dan bergurau.

Kematian lebih mirip jambret—ketika kita sadar milik kita sudah tak ada
Ehmm—saya menghela nafas dan teringat kejadian setahun yang lalu
Saya kehilangan tante saya…
Saya tidak cukup dekat untuk bisa meresakan kehilangan yag mendalam seperti halnya sahabat saya
Akan tetapi kajadian itu benar-benar membuat saya TERTEGUN…
Tante saya pergi diusianya yang masih muda
Saat mendengar berita itu saya sedang berada dirumah sakit, menunggui mama yang sedang sakit
Setelah mendengar berita itu saya menghubungi kakak perempuan saya—seingat saya saat itu kakak perempuan saya berbicara lewat telefon dengan mama yang sedang terbaring sakit, memberikan mama semangat untuk terus bangkit dan percaya bahwa takdir punya jalannya sendiri
Bahwa ternyata tante yang sehat dan segar bugar itu telah menepati JANJInya pada Sang Khalik lebih dulu—dan mama yang terbaring dirumah sakit masih diberi kemudahan untuk menghirup udara sesukanya.
Membuat saya sadar bahwa saya sudah LENGAH—saya terlalu percaya diri
Sekian waktu saya habiskan dengan perasaan cemas—cemas dan takut ditinggalkan mama tercinta, tapi saya seperti diTAMPAR
Saya terlalu percayadiri menganggap mama yang akan meninggalkan saya
Bagaimana kalau sebenarnya…saya yang DULUAN
Hati saya gelisah, gundah, seperti dicubit-cubit
Saya takut MATI
Saya takut meninggalkan dunia…
Saya LEBIH takut menghadap sang pencipta tanpa bekal apa-apa
Itulah Turning Point--dalam hidup saya
Mulai berusaha memperbaiki diri, bersujud mohon ampun dan ingin memulainya dari awal
Tepat 5 Pebruari 2007 saya memulainya dengan memakai hijab(jilbab)
Bukan bebarti perjalanan telah selesai dan dosa telah terampuni
Saya baru memasang kuda-kuda—bukan tidak mungkin saya lelah ditengah perjalanan saya yang baru itu.
Jangan kira tanpa hambatan, karena sinisme itu datang dari orang-orang terdekat—yang saya harap mendukung dan memberi support kepada saya
Mereka malah menyepelekan dan menghujat

Itulah cobaan pertama saya ketika memutuskan untuk lebih spiritualis dan religius
Saya sempat tersinggung dengan celetukan seorang teman yang saya dengar.
Dia mengatakan bahwa pada intinya buat apa saya berjilbab tapi masih suka nongkrong (hang out) dengan pria-pria yang notabene teman hang out saya sehabis jam kuliah. Meremehkan saya bahwa perubahan itu tak begitu berarti jika sikap saya belum berubah total.
Saudaraku—saya manusia biasa yang menjalani semua garisan hidup ini dengan proses,sekali lagi PROSES
Saya berduka…karena saya baru saja memulai tapi sudah ada yang menjegal
Saya marah, kecewa, sakit hati, dan tersinggung. Berani-beraninya dia mengolok-olok saya, menilai saya sepintas lalu membuat asumsi seakan dia mengenal saya luar dalam. Dia dan saya sama-sama perempuan, sama-sama seorang muslim. Semestinya dia sadar bahwa hijab adalah kewajiban bagi seorang muslimah, bukan menunggu siap…kalau begitu banyak orang akan meninggalkan sholat dengan alasan belum siap. Dengan hati panas saya berkata “sadarkah DIA, dia toh tidak lebih baik dari saya”—lalu kemudian komposisi kalimat itu menggelitik saya. Seperti TERSADAR saya pun mengubah komposisinya--bagaimana kalau—“SAYA tidak lebih baik dari dia.”
Kurenungkan kembali dua kalimat ini.
Astargfirullahhalazim. I’ve been there, done that situation.
Saudaraku—saya mencoba mamaafkan teman saya dan moncoba berdamai dengan diri saya dimasa yang lalu. Saya pernah berada di sana dan mengolok-olok orang lain, seakan saya sempurna.
Mungkin Allah ingin saya bercermin dari teman saya ini, kembali mengingatkan saya bagaimana saya dahulu.
Saudaraku—manusia terbentuk dari sejarah hidupnya—tentu dengan segala kemauan dan kemampuannya untuk bertransformasi ke wujud yang lebih baik
Begitupun hidup yang saya jalani, hidup yang saya yakini hanya sebagai tempat persinggahan untuk mencari bekal.
Saudaraku—dan kisah ini pun masih akan bergulir bersama waktu…dan saya akan bereuni…seperti saat ini. Suatu saat nanti.

Wasalam-rahma-


No comments:

Post a Comment